oleh

Tiga Belas Tahun UU Pangan: Saatnya Mengubah Haluan Ketahanan Pangan Indonesia

Oleh: dr. Nishal Kaur Dhillon

Sudah lebih dari tiga belas tahun sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan diberlakukan. Namun perjalanan panjang ini justru menampilkan kenyataan yang sulit diabaikan: undang-undang tersebut belum mampu menghasilkan ketahanan pangan sebagaimana yang dijanjikan kepada publik. Harapan besar saat UU disahkan—mulai dari kemandirian pangan, penurunan impor, hingga peningkatan posisi petani—tidak berkembang sesuai ekspektasi. Sebaliknya, perkembangan beberapa tahun terakhir menunjukkan gejala yang memantik keprihatinan.

Ketergantungan Impor Tak Kunjung Turun

Indonesia masih berada dalam jajaran negara dengan ketergantungan impor pangan tertinggi di Asia. Kedelai untuk kebutuhan tahu-tempe sebagian besar didatangkan dari Amerika Serikat; gandum sebagai bahan baku mi instan dan roti sepenuhnya diimpor; sedangkan gula, bawang putih, dan daging sapi tetap membutuhkan pasokan luar negeri untuk menutup kekurangan produksi nasional.

Fakta ini menunjukkan lemahnya fondasi sistem pangan nasional—fondasi yang semestinya diperkuat oleh keberadaan UU Pangan.

Kelembagaan yang Lemah, Koordinasi yang Tersendat

Salah satu persoalan mendasar UU Pangan terletak pada lemahnya bangunan kelembagaan. Mandat yang diberikan sangat luas, tetapi tidak disertai mekanisme koordinasi yang memadai. Selama hampir satu dekade tidak ada lembaga tunggal yang bertugas memimpin urusan pangan. Badan Pangan Nasional baru dibentuk pada 2021, setelah berbagai kementerian dan lembaga berjalan sendiri-sendiri dengan agenda sektoral masing-masing.

Baca Juga  Jelang Pemilu 2024: Komisi II DPR RI Puji Jenderal Dudung Jaga Netralitas TNI

Akibatnya, kebijakan menjadi terfragmentasi: Bulog kehilangan sebagian kewenangan stabilisasi harga, kementerian teknis bekerja tanpa integrasi, dan program sering tumpang tindih. Tanpa struktur kelembagaan yang kokoh, UU Pangan tidak memiliki daya dorong untuk menyelesaikan problem utama pangan nasional.

Petani Masih Tidak Menjadi Prioritas Kebijakan

Walaupun UU Pangan menempatkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani sebagai prinsip utama, kenyataan di lapangan berkata lain. Petani terus berada pada posisi paling lemah dalam rantai pasok. Harga gabah sering jatuh saat panen raya, distribusi pupuk subsidi tidak merata, dan minimnya infrastruktur pascapanen membuat margin keuntungan petani sangat kecil.

Fokus kebijakan yang lebih menekankan stabilisasi harga untuk konsumen sering mengabaikan sisi hulu. Tanpa petani yang sejahtera, ketahanan pangan hanya akan menjadi slogan. Dibutuhkan perubahan orientasi kebijakan yang benar-benar menempatkan petani sebagai pusat sistem pangan nasional.

Diversifikasi Pangan Mandek

Salah satu amanat penting UU Pangan adalah mendorong diversifikasi pangan lokal. Namun hingga kini, diversifikasi belum menjadi arus utama kebijakan. Konsumsi masyarakat masih bertumpu pada beras dan gandum, sementara potensi pangan lokal—seperti sorgum, sagu, keladi, umbi-umbian, kelor, dan ribuan varietas Nusantara—tidak memperoleh dukungan signifikan.

Baca Juga  Selamat Ginting: Nilai Ketulusan dan Kepedulian Jenderal Dudung kepada Rakyat Cerminkan Kepemimpinan Amanah

Padahal negara-negara yang berhasil membangun ketahanan pangan memperkuat pangan lokal sebagai pilar utama. Indonesia justru terjebak pada pola konsumsi yang sempit dan rentan terhadap gejolak global.

Data Pangan Tidak Seragam

Persoalan lain yang terus berulang adalah ketiadaan sistem data pangan nasional yang akurat dan terintegrasi. UU Pangan tidak memberikan dasar kuat untuk membangun sistem satu data. Perbedaan angka antara pusat dan daerah—mulai dari produksi hingga stok beras—masih sering terjadi.

Ketika data tidak seragam, kebijakan cenderung reaktif dan tidak presisi. Keputusan impor kerap menuai polemik karena lemahnya basis data, sehingga menciptakan ketidakpastian bagi petani maupun pelaku usaha.

Mengapa Revisi UU Pangan Mendesak?

Setelah lebih dari tiga belas tahun berjalan, revisi terhadap UU 18/2012 tidak hanya penting, tetapi mendesak. Revisi yang dibutuhkan bukan sekadar pergantian pasal, melainkan perubahan paradigma. Setidaknya ada empat langkah utama yang perlu menjadi fokus:

Memperkuat kelembagaan pangan dengan komando tunggal di bawah Badan Pangan Nasional, sehingga koordinasi kebijakan berlangsung efektif.

Mengembangkan pangan lokal melalui dukungan riset, insentif fiskal, dan integrasi program pusat-daerah.

Menempatkan petani sebagai pusat kebijakan dengan memberikan jaminan harga, akses input yang adil, perlindungan rantai pasok, dan kepastian pasar.

Baca Juga  Menyambut Pilkada serentak di Sumatera Utara tahun 2024

Membangun sistem data pangan nasional yang terintegrasi, transparan, dan dapat diaudit publik.

Tanpa empat fondasi ini, revisi hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa perubahan nyata.

Partisipasi Publik: Penanda Arah Baru

Di tengah kompleksitas persoalan pangan, meningkatnya partisipasi masyarakat—melalui organisasi petani, kelompok masyarakat sipil, serta jejaring komunitas seperti JPPN dalam RDPU DPR—adalah sinyal positif. Publik tidak lagi sekadar menjadi penerima kebijakan, tetapi turut menentukan arah masa depan pangan nasional.

Revisi UU Pangan harus menjadi ruang dialog antara negara dan rakyatnya, terutama mereka yang berada di garis depan: para petani.

Penutup

Perjalanan panjang UU Pangan selama tiga belas tahun memberikan satu pelajaran penting: ketahanan pangan tidak mungkin terwujud dengan regulasi yang lemah dan kebijakan jangka pendek. Indonesia memiliki sumber daya yang sangat besar untuk mencapai kemandirian pangan, namun tanpa arah yang jelas, bangsa ini akan terus terjebak dalam siklus krisis.

Revisi UU Pangan harus menjadi momentum koreksi total. Pangan adalah urusan strategis, dan masa depan bangsa terlalu berharga untuk dikelola dengan tata kelola yang rapuh.

News Feed