oleh

BELAJAR DARI OTOP THAILAND

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia

Dalam pusaran dunia yang semakin terdigitalisasi namun paradoksnya juga semakin rentan, perdebatan tentang arah pembangunan ekonomi tidak lagi bisa hanya dikurung dalam parameter pertumbuhan (growth), melainkan harus berani menyentuh dimensi keberlanjutan (sustainability), inklusivitas (inclusiveness), dan kedaulatan (sovereignty). Di tengah kompleksitas itu, local resilience—ketahanan lokal—tidak lagi sekadar menjadi jargon retoris dalam dokumen perencanaan pembangunan, melainkan menjadi strategic imperative, sebuah kebutuhan mendesak yang menentukan daya hidup suatu bangsa dalam lanskap geopolitik dan geoekonomi yang volatil.

Dalam konteks ini, pendekatan One Tambon One Product (OTOP) yang diinisiasi oleh Pemerintah Thailand sejak awal 2000-an muncul sebagai contoh menarik dari bagaimana negara dapat menjadi fasilitator pembentukan nilai ekonomi berbasis komunitas. OTOP merupakan cerminan dari pendekatan community-based development, yaitu pembangunan yang berpijak pada kapasitas endogen masyarakat. Ia tidak menawarkan solusi top-down yang seragam, melainkan memberi ruang bagi komunitas untuk mendefinisikan potensi dan aspirasi mereka sendiri. Pada titik inilah kita melihat OTOP sebagai bentuk aktualisasi dari subsidiarity principle—sebuah prinsip dalam teori tata kelola publik yang menempatkan kewenangan pada level pemerintahan atau komunitas terdekat dengan permasalahan.

Berangkat dari inspirasi gerakan One Village One Product di Jepang, OTOP dibangun di atas kerangka pemikiran bahwa setiap komunitas lokal memiliki keunikan yang dapat menjadi fondasi pembangunan ekonomi yang berkarakter. Pemerintah Thailand bertindak sebagai enabler—bukan sebagai instrumen koersif, tetapi sebagai katalisator yang menyediakan pelatihan, kurasi produk, infrastruktur promosi, serta jejaring pasar nasional dan internasional. Dengan kata lain, negara memainkan peran sebagai platform orchestrator, yaitu pengatur simfoni yang menyelaraskan potensi dan aktor dalam satu ekosistem produksi yang kohesif.

Namun, OTOP juga merupakan institutional experiment yang mengandung dual character. Ia mengandung janji sekaligus jebakan. Di satu sisi, OTOP telah melahirkan ribuan produk berbasis kerajinan, pangan lokal, kosmetik herbal, hingga tekstil etnik yang menjadi wajah ekonomi perdesaan Thailand. Produk-produk OTOP tidak hanya merambah pasar domestik, tetapi juga menembus pasar internasional, terutama di kawasan Asia Timur dan Timur Tengah. Mereka menjadi semacam cultural commodity—produk ekonomi yang juga menyimpan narasi budaya dan simbol identitas kolektif.

Baca Juga  Buku “Loper Koran Jadi Jenderal” Dibedah, Dudung Memang Tokoh Inspiratif

Namun di sisi lain, evaluasi terhadap OTOP mengungkapkan berbagai keterbatasan struktural. Banyak produk gagal melakukan sustainable innovation, atau inovasi berkelanjutan yang mampu memperbarui diri sesuai perubahan selera dan kebutuhan pasar. Alih-alih naik kelas menjadi entitas korporasi yang mandiri dan tangguh, tidak sedikit pelaku OTOP yang tetap berada dalam zona cottage industry—industri rumahan yang sangat bergantung pada dukungan negara dan sulit menembus global value chains. Ketika negara mulai menarik intervensi, banyak unit usaha kehilangan arah dan daya saing. Ini menandakan absennya institutional thickness—kepadatan jejaring institusional lokal yang mampu menopang kelangsungan usaha secara otonom.

Kondisi inilah yang harus menjadi pelajaran reflektif bagi Indonesia. Kita tidak kekurangan UMKM. Dengan lebih dari 64 juta unit yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto, UMKM Indonesia sejatinya merupakan latent capital—modal sosial dan ekonomi yang masih tersembunyi di balik tumpukan tantangan struktural: akses pembiayaan yang sempit, minimnya pendampingan teknis, lemahnya digitalisasi, serta keterputusan dari ekosistem inovasi nasional.

Namun, masalah utamanya bukan sekadar infrastruktur atau pembiayaan. Permasalahannya lebih mendasar: kita belum memiliki imajinasi kolektif tentang UMKM sebagai agent of transformation, sebagai subjek perubahan sosial dan ekonomi, bukan sekadar unit ekonomi marginal yang diasumsikan akan tumbuh secara alami. Dalam banyak narasi kebijakan, UMKM masih diperlakukan sebagai kelompok yang perlu “dibantu”, bukan sebagai mitra sejajar dalam pembangunan. Dengan kata lain, UMKM kita seringkali diposisikan dalam relasi paternalistik, bukan relasi kolaboratif.

Baca Juga  Sekjen Kemendagri Ajak ASN Manfaatkan Teknologi untuk Tingkatkan Pelayanan Publik

Alih-alih melakukan adopsi mimetik terhadap OTOP Thailand, Indonesia perlu menyusun contextual adaptation—adaptasi kontekstual yang mempertimbangkan kompleksitas geografi, budaya, dan kapasitas kelembagaan lokal. Kita tidak bisa mengembangkan pendekatan “one size fits all” dalam wilayah yang sedemikian majemuk. Oleh karena itu, alih-alih One Tambon One Product, kita bisa membayangkan model One Kecamatan One Ecosystem. Di sini, bukan hanya satu produk yang dikembangkan, tetapi sebuah ekosistem yang melibatkan universitas, inkubator bisnis, koperasi lokal, komunitas kreatif, dan platform digital yang saling bersinergi dalam menciptakan nilai.

Model ini menuntut pergeseran paradigma negara dari sekadar provider—penyedia program dan bantuan—menuju peran sebagai meta-governor, yaitu aktor yang mengatur arsitektur kebijakan tanpa mengambil alih peran aktor lain. Ini menuntut institutional agility, kelincahan kelembagaan yang mampu merespons kebutuhan spesifik lokal namun tetap menjaga garis strategis nasional. Pemerintah daerah harus diberi otonomi yang substantif, bukan administratif, untuk mengorkestrasi strategi pengembangan ekonomi komunitas yang berbasis pada potensi mereka masing-masing.

Sebagai bangsa yang sangat kaya secara biodiversitas dan budaya, Indonesia memiliki modal luar biasa untuk mengembangkan cultural entrepreneurship, sebuah model kewirausahaan yang menjadikan kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi. Tenun dari Nusa Tenggara Timur, anyaman rotan dari Kalimantan, kopi dari dataran tinggi Sumatra, atau rempah dari Maluku bukan hanya produk konsumsi, tetapi adalah narrative commodity, barang yang membawa cerita, sejarah, dan imajinasi kolektif. Untuk itulah, diperlukan storytelling economy, yaitu pendekatan ekonomi yang menjadikan narasi sebagai strategi pemasaran dan diferensiasi produk.

Globalisasi memang menawarkan peluang pasar yang nyaris tak berbatas, namun di saat yang sama juga menyodorkan tantangan hyper-competition—persaingan ekstrem. Dalam dunia yang semakin tanpa batas, persaingan bukan lagi antarnegara, melainkan antar ekosistem. Dalam kerangka ini, UMKM bukan lagi entitas yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari rantai nilai (value chain) yang kompleks. Untuk itu, integrasi dengan teknologi, platform digital, dan logistik menjadi keniscayaan. Namun integrasi ini harus bersifat empowering, bukan extractive. Ia harus memperkuat posisi tawar UMKM dalam rantai nilai, bukan menjadikannya sekadar pemasok murah untuk korporasi besar.

Baca Juga  Mertua Kaesang dan KAI Ajak UMKM Menangkan Prabowo Gibran Satu Putaran

Belajar dari OTOP adalah belajar dari keberhasilan dan kegagalannya. OTOP bukanlah formula ajaib yang bisa diimpor begitu saja. Ia adalah discursive mirror—cermin wacana—yang mengundang kita untuk bertanya lebih jauh: ekonomi seperti apa yang ingin kita bangun? Apakah ekonomi yang sekadar memperbesar angka pertumbuhan, ataukah ekonomi yang mendalamkan makna kemandirian, partisipasi, dan martabat manusia?

Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma “UMKM sebagai tulang punggung ekonomi” yang dikutip berulang kali tanpa refleksi. Tulang punggung bisa rapuh jika tidak diperkuat oleh struktur yang sistemik dan suportif. Kita perlu strategic repositioning, menempatkan UMKM dalam episentrum pembangunan ekonomi yang lebih adil, ekologis, dan berbasis pada nilai-nilai lokal. Bukan ekonomi yang meniru, melainkan ekonomi yang menemukan dirinya sendiri.

Jika OTOP Thailand adalah permulaan, maka OTIP—One Tribe One Intellectual Product—adalah proyeksi ke depan. Proyeksi tentang bagaimana setiap komunitas lokal di Indonesia bisa tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga gagasan, inovasi, dan narasi. Itulah masa depan UMKM Indonesia: tidak sekadar menjadi roda pinggiran dari ekonomi nasional, tetapi menjadi penggerak utama dalam desain peradaban ekonomi yang berkeadilan dan berkarakter.

Dan dalam dunia yang semakin seragam karena globalisasi, mempertahankan keberagaman lokal bukanlah tindakan nostalgik, melainkan aksi subversif paling modern. UMKM Indonesia bukanlah entitas kecil yang menunggu diselamatkan. Mereka adalah sumber daya strategis yang, jika dipahami dengan benar, bisa menjadi fondasi kemandirian ekonomi nasional yang sejati.

*Penulis adalah Dosen Kewirausahaan Universitas BTH & Direktur Kemitraan Perkumpulan Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI)

News Feed