oleh

Jalan Sunyi Perdamaian Thailand–Kamboja

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.

Konflik antara Thailand dan Kamboja yang kembali membara pada Juli 2025 mengejutkan banyak pihak yang mengira bahwa rivalitas kuno itu telah cukup diredam oleh diplomasi regional. Namun, sejarah memang memiliki cara untuk menagih dendam masa lalu yang belum selesai. Kali ini, api sengketa yang menyala tak hanya berasal dari klaim atas wilayah perbatasan yang kabur, tapi juga dari bara populisme nasionalistik yang makin sulit dipadamkan di tengah kecamuk politik domestik masing-masing negara.

Pada pandangan pertama, mudah menyimpulkan bahwa perang ini adalah hasil provokasi elite politik populis yang menunggangi sentimen sejarah demi konsolidasi kekuasaan. Namun, membaca konflik ini secara lebih cermat menuntut kita untuk menengok akar-akar yang lebih dalam: dari warisan kolonialisme yang membekaskan garis batas yang tidak pernah benar-benar disepakati, hingga dinamika regional yang kini dilanda gelombang persaingan geopolitik baru di Asia Tenggara.

Konflik ini kembali menegaskan satu hal: bahwa batas negara bukan sekadar soal koordinat di atas peta, tapi juga perihal memori kolektif, harga diri, dan konstruksi identitas kebangsaan.

Tak dapat disangkal, populisme nasionalistik memainkan peran sebagai pemantik utama konflik. Baik di Bangkok maupun Phnom Penh, tekanan domestik terhadap pemimpin negara membuat isu perbatasan menjadi komoditas politik yang menguntungkan. Di Thailand, faksi konservatif yang merasa terancam oleh desakan kelompok reformis menggunakan retorika “penjagaan integritas wilayah” sebagai simbol kebanggaan nasional. Di sisi lain, Kamboja pasca-transisi politik setelah kepergian Hun Sen tampak mencari narasi baru untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap pemerintah pascareformasi.

Baca Juga  Polda Sumsel Sediakan Doorprize Menarik Bagi Warga yang Ikuti Vaksinasi

Namun, menyalahkan sepenuhnya elite populis semata tidak cukup menjelaskan kompleksitas eskalasi konflik. Publik di kedua negara telah lama “diprogram” untuk melihat satu sama lain sebagai rival historis. Buku pelajaran, monumen nasional, dan festival tahunan tanpa sadar menanamkan imajinasi tentang “yang lain” sebagai ancaman. Dalam konteks ini, populisme hanya mempercepat pergerakan air yang telah lama beriak di bawah permukaan.

Salah satu luka sejarah yang terus membuka jalan bagi konflik adalah warisan peta buatan kolonial Perancis. Sengketa wilayah sekitar kompleks candi Preah Vihear menjadi simbol klasik bagaimana kekaburan batas dapat menjelma menjadi pertikaian berdarah. Meski Mahkamah Internasional telah memberikan keputusan pada 1962, dan ditegaskan kembali pada 2013, interpretasi atas putusan itu masih berbeda antara kedua belah pihak. Peta adalah produk politik—dan politik, seperti kita tahu, tak pernah netral.

Baca Juga  Guru PPKN di Yogyakarta mendapatkan Pelatihan Demokrasi

Masalah menjadi lebih rumit ketika pembangunan infrastruktur strategis di daerah sengketa—termasuk pos militer, tambang, dan proyek jalan lintas ASEAN—menyulut kecurigaan dan adu klaim kedaulatan. Apa yang di satu pihak disebut “pengembangan daerah tertinggal,” di pihak lain ditafsirkan sebagai “pelanggaran wilayah kedaulatan.”

Konflik Thailand–Kamboja tidak berdiri dalam ruang hampa. Asia Tenggara kini menjadi arena kompetisi kepentingan antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan kekuatan regional lainnya. Kamboja yang selama satu dekade terakhir menjalin hubungan erat dengan Beijing kerap dicurigai oleh Thailand sebagai “proxy” kekuatan luar. Sementara itu, Thailand yang dalam beberapa tahun terakhir berupaya merapat ke blok demokrasi liberal semakin aktif menunjukkan kekuatan militernya.

Dalam konteks ini, perang bukan hanya pertarungan atas tapal batas, tapi juga cerminan friksi ideologis dan ekonomi di kawasan. Ketika diplomasi regional seperti ASEAN gagal bertindak cepat dan efektif, vakum ini diisi oleh logika militerisme dan kebanggaan nasional yang makin sempit.

Yang paling menyedihkan dari konflik ini bukan hanya hilangnya nyawa atau kerusakan materi, tetapi runtuhnya harapan akan masa depan Asia Tenggara yang damai dan terintegrasi. Ratusan keluarga sipil telah mengungsi. Pasar lintas batas lumpuh. Generasi muda Thailand dan Kamboja kembali melihat tetangga mereka sebagai musuh, bukan mitra.

Baca Juga  Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2021 'Semangat dan Harapan'

Maka, perdamaian tidak cukup hanya dengan perjanjian gencatan senjata. Diperlukan rekonstruksi ulang memori kolektif dan kerja sama budaya yang melampaui retorika politis. Kerja sejarah yang jujur, pendidikan lintas batas, dan penguatan lembaga regional adalah syarat mutlak. Dan ini tidak akan terjadi jika masing-masing pihak terus merawat luka masa lalu tanpa keberanian untuk saling memahami.

Kita perlu belajar bahwa nasionalisme tidak harus menyalakan api perang. Ia bisa menjadi energi untuk membangun kebanggaan bersama atas sejarah yang saling terkait. Thailand dan Kamboja, pada akhirnya, adalah dua bangsa yang akar budayanya berasal dari tanah yang sama. Perang hanya akan merusak apa yang seharusnya dirawat bersama.

Barangkali kini saatnya kita merenungkan kembali sabda Lao Tzu: “Great wars are born from small angers.” Maka, sebelum kemarahan itu menjelma menjadi dendam generasi, jalan sunyi perdamaian harus kembali dicari—meskipun tak populer di mata politik, tetapi mulia di mata sejarah.

*Penulis adalah akademisi dan aktivis sosial, alumni FISIPOL UGM.

News Feed