oleh

PRODUK THAILAND: JUARA DI KEMASAN?

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.


Dalam beberapa tahun terakhir, rak-rak minimarket dan supermarket di Indonesia mulai dipenuhi oleh produk-produk makanan dan minuman kemasan asal Thailand. Kita mengenal Tao Kae Noi, camilan rumput laut yang sukses membangun brand recall tinggi di kalangan remaja. Ada pula Mogu Mogu, minuman nata de coco dalam botol plastik ergonomis yang menjadi favorit di banyak kota. Tak ketinggalan, Ichitan, teh botol berdesain kontemporer yang secara agresif menembus pasar Indonesia. Produk-produk ini tidak hanya menawarkan rasa, tetapi juga presentation, packaging experience, dan narasi visual yang kuat.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan reflektif: mengapa produk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) Thailand, khususnya di sektor food and beverage, begitu kompetitif di pasar Asia Tenggara? Jawabannya tidak semata pada rasa atau harga, tetapi pada ekosistem kewirausahaan yang secara sistemik mendorong kualitas desain, kreativitas kemasan, dan nilai tambah merek sejak dari hulu.

Thailand, dalam dua dekade terakhir, telah bertransformasi dari sekadar pusat pariwisata menjadi branding powerhouse untuk produk lokal. Pemerintahnya tidak hanya menyediakan insentif finansial, tetapi juga infrastruktur pendukung berupa pelatihan desain kemasan, certification support, hingga koneksi ke pasar ekspor. Salah satu lembaga kunci adalah Department of International Trade Promotion (DITP), yang aktif mengkurasi produk UMKM dan memberi mentorship agar mereka layak masuk ke pasar global, bukan hanya domestik.

Baca Juga  Fungsionaris Urang Banten, GS Ashok Kumar: Lintas Wisata Pesisir Banten, menjadi tanggung jawab bersama.

Di sisi lain, pendidikan desain di Thailand juga bersinergi erat dengan sektor industri. Banyak universitas yang membuka program applied design yang langsung berkolaborasi dengan pelaku UKM pangan dan minuman. Mereka bukan hanya memproduksi lulusan desainer, tapi juga design thinkers yang memahami kebutuhan pasar dan logika produksi. Sinergi ini menciptakan keunggulan kompetitif yang sulit disaingi oleh negara-negara lain di Asia Tenggara.

Indonesia, dengan populasi dan keragaman kuliner yang jauh lebih besar, justru tertinggal dalam aspek ini. Banyak UMKM kita yang unggul secara rasa, namun kurang menaruh perhatian pada visual branding dan consumer appeal. Produk-produk seperti keripik, kopi, sambal, atau minuman herbal sering hadir dalam kemasan yang repetitif, klise, dan minim inovasi visual. Akibatnya, meskipun enak dan otentik, daya saing produk Indonesia kerap melemah di rak yang sama.

Baca Juga  Ketua Umun SMSI Bertandang Ke Lampung, Silaturahmi Sekretaris PDI-P Lampung

Kita juga belum memiliki institusi atau kebijakan yang benar-benar menempatkan packaging innovation sebagai prioritas pembangunan UMKM. Seringkali pelatihan untuk UMKM hanya berkutat pada pembukuan, legalitas, atau pemasaran digital, namun melewatkan aspek fundamental: diferensiasi produk lewat kemasan yang berkarakter dan bermakna. Padahal dalam consumer psychology, kemasan adalah pintu masuk pertama yang membentuk persepsi kualitas dan kepercayaan terhadap merek.

Thailand mengajarkan bahwa keberhasilan produk UMKM bukanlah soal cita rasa semata, tapi holistic brand construction. Mereka mampu menjadikan kemasan sebagai strategic asset yang mengangkat nilai lokal menjadi narasi global. Inilah yang perlu ditiru Indonesia: memperlakukan kemasan bukan sekadar wadah, melainkan jendela nilai, budaya, dan kualitas dari produk kita.

Baca Juga  Ketua Umum Forum Pemred SMSI Prihatin atas Insiden Pelemparan Bom Molotov ke Kantor Redaksi Jubi

Langkah konkret bisa dimulai dengan mengintegrasikan pelatihan desain kemasan di setiap program pembinaan UMKM. Pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan kampus desain dan lembaga inkubator bisnis untuk mengawal proses branding by design. Selain itu, perlu ada kebijakan afirmatif dalam bentuk penghargaan atau pembiayaan khusus bagi UMKM yang berinovasi dalam kemasan berstandar ekspor.

Indonesia memiliki potensi kuliner yang luar biasa, namun potensi tanpa narrative packaging hanyalah komoditas tanpa identitas. Thailand telah memberi kita pelajaran penting bahwa dalam era visual dan persaingan pasar bebas, perception is product. Merek, kemasan, dan narasi tidak lagi menjadi pelengkap, melainkan inti dari strategi kewirausahaan modern. Bila kita tidak ingin terus menjadi pasar dari merek negara lain, maka sudah saatnya Indonesia mendesain ulang bagaimana kita membungkus kualitas menjadi nilai tambah yang menjual.

*Penulis adalah Dosen Kewirausahaan Universitas BTH & Direktur Kemitraan Perkumpulan Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI); Pemerhati Kewirausahaan Asia Tenggara

News Feed